Selasa, 04 Agustus 2009

Kepolisian RI

Bayongbong, Sabtu, 11 Juli 2009.
19 Rajab 1430 H

SIMPATISAN POLRI PECINTA TERTIB HUKUM

Pengantar Penulis :
Dalam menyambut hari Bhayangkara, yang saat ini adalah jatuh yang ke-40 ( 1 Juli 1969 – 1 Juli 2009 ), penulis mencoba menyampaikan sikap kepedulian yang hanya dapat dilakukan melalui karya penulisan ini.
Penulis sangat menyadari bahwa karya penulisan berikut ini adalah karya penulisan yang masih jauh dari sempurna, namun sekiranya hal tersebut adalah dikarenakan semata kepada waktu dan kesempatan mencari sumber penulisan yang sangat minim.
Rasanya ingin penulis menyampaikan karya penulisan berikut kepada sekiranya orang / organisasi yang kompeten untuk menerimanya, namun sekali lagi hanya karena kekurang mampuan penulislah seluruh penulisan baik yang sudah penulis susun atau yang sedang disusun, seolah menjadi sesuatu hal yang tidak ada gunanya, khususnya tidak ada gunanya untuk khalayak umum. Seperti biasanya penulis selalu terbuka terhadap saran, masukan, kritik, bahkan sanggahan.
Adapun sumber penulisan berikut ini adalah saya rangkum dari buku Integrasi Taruna Wreda 1969 yang merupakan materi operasi Akademi Angkatan Bersenjata RI Bagian Udara serta nara sumber lainnya dengan sumber yang sangat baku yaitu ;

POLRI UNTUK MASYARAKAT DAN BUKAN MASYARAKAT UNTUK POLRI,

Kemudian dengan motto internasional yaitu :
The Police is a Friendshif of Children’s ( Polisi adalah Sahabat Anak-Anak )

Terima kasih.

I. Tugas Polisi Indonesia adalah sama umumnya dengan tugas polisi di seluruh dunia ( secara universal diterapkan berdasarkan tipe dan bentuk negaranya ).
Untuk Republik Indonesia yang berdasarkan kepada Pancasila dan UUD 1945 pra amandemen MPR-RI masa Bhakti 1999 – 2004 y.l, adalah sbb :
1. Pada jaman penjajahan Belanda :
- Polisi hanya sebagai alat pemukul dan penegak hukum daripada hukum, yang diprakarsai oleh pemerintah kolonial.
- Tugas polisi dalam masa penjajahan kolonial hanya sebagai alat pelaksana yang mati, dan petugas-petugasnya harus dijauhkan dari lingkungan dan hati nurani rakyatnya.
- Aparatur Kepolisian tidak perlu berstatus departemen dan mempunyai menteri tersendiri, kepemimpinan hanya cukup dibebankan kepada pejabat eksekutif yang ada.
- Status kepolisian hanya sekedar pembantu Justisi dan Bestuur, sebagaimana tercermin dari sebutan-sebutan seperti : “Hulpocifer Van Justice”, “Hulpmagistraat”, “Rechtspolitie”, dan “De Politie Als Knuppel Van Het Bestuur”, dsb.
- Organ Kepolisian masuk lingkungan Departemen Binnenlands Bestuur ( Kementrian Dalam Negeri ) Belanda.

2. Pada masa penjajahan Dai Nippon :
- Dalam hubungannya dengan pihak kejaksaan dan Pangreh Praja menunjukkan suatu kedudukan yang sifatnya ( agak ) berdiri sendiri dalam lingkungan Chanbu ( kejaksaan ) Jepang.

3. Pasca Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 :
Berdasarkan hasil sidang Panitya Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( PPKI ) tanggal 19 Agusutus 1945 y.l, Kepolisian ditetapkan masuk dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri dengan sebutan Jawatan Kepolisian Negara.
Kenyataan yang harus dihadapi adalah, menerima tugas yang diemban yaitu melucuti senjata penjajah Jepang dan menghadapi pertempuran dan kekacauan yang ditimbulkan oleh pendaratan tentara-tentara Sekutu yang notabene diboncengi oleh kepentingan Belanda yang menginginkan kembali berkuasa di Indonesia dengan tentaranya yang disebut dengan NICA.

II. Tanggal 1 Juli 1955, membuat pedoman dengan tetap berdasarkan kepada Pancasila dan UUD ’45, yaitu lahirnya TRIBRATA :
1. Abdi Utama daripada Nusa dan Bangsa.
2. Warga Negara Utama daripada Negara.
3. Kewajiban Menjaga Tertib Pribadi Rakyat.
Sehubungan dengan Ketetapan MPRS : TAP No. II / MPRS / 1960, bahwa polisi adalah Unsur ABRI, maka pada tanggal 1 Juli 1960 dinyatakan CATUR PRASATYA sebagai pedoman kekaryaan, pedoman Teknik Kepolisian RI.
Catur Prasatya sebagai pedoman yang pernah diberikan Mahapatih Gajah Mada kepada pasukan Bhayangkara, mengandung pedoman kekaryaan sbb :
1. SATYA HAPARABU : Setia Kepada Pimpinan Negara.
2. HANYAKEUN MUSUH : Bukan saja menghancurkan musuh perang tetapi terutama musuh dalam kejahatan, pelanggaran / gangguan KAMTIBMAS, ketertiban umum, menjalarnya penyakit masyarakat, dll.
3. GINEUNG PRATIDINA : Adanya Patriotisme yang penuh deduksi dan devotion terhadap Nusa dan Bangsa.
4. TAN SATRISNA : Tidak terikat oleh sesuatu hal terkecuali oleh pengabdian kepada Nusa dan Bangsa.

III. Metode Pelaksanaan Tugas Polisi :
- Azas Legalitas ( Legalileits beginsel ).
- Azas Opertunitas (Opportunitectes beginsel atau Plichtmatigheids beginsel).

IV. Tugas Polisi :
- Preventif.
- Represif.

V. Pelaksanaan Tugas-tugas Pokok Kepolisian seterusnya diatur menurut Garis-Garis Besar Haluan Negara ( GBHN ) yang telah disahkan melalui persidangan MPR RI.
Contoh pelaksanaan tugas yang diatur melalui GBHN :
Pasal 2 :
Dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam pasal 1, maka kepolisian negara mempunyai tugas :
a. Memelihara Ketertiban dan Menjamin Keamanan Negara.
b. Mencegah dan Memberantas menjalarnya Penyakit Masyarakat.
c. Memelihara Keselamatan Negara terhadap Gangguan dari dalam.
d. Memelihara Keselamatan orang, benda dan Masyarakat, termasuk memberi perlindungan dan pertolongan.
e. Mengusahakan Keta’atan Warga Negara dan Masyarakat terhadap peraturan-peraturan Negara.

VI.Kepolisian dan sosial politik.
Sudah menjadi suatu fakta, bahwa kepolisian tidak akan membuat suatu agreement apapun dengan partai politik apapun, hal ini dimaksudkan agar polisi adalah sebagai naungan seluruh partai politik.
Ditambah pula dengan maksud dari embrionalnya didirikannya kepolisian Republik Indonesia yang berfalsafah Pancasila dan UUD 1945.
Namun pada Pemilu 1955 y.l, adalah adanya Golongan Karya ( GOLKAR ) yang menyatakan masuk dalam kompetisi PEMILU, menjadikan carut marutnya kegiatan Indonesia dalam bernegara dan berdemokrasi.
Demikian juga, kepolisian yang nyata-nyata masuk dalam elit GOLKAR, pada Pemilu 1955 y.l menghasilkan perwakilan 2 orang wakil untuk DPR, dan 3 orang wakil untuk Dewan Konstituante.
POLRI menyadari bahwa adanya perwakilan di legislatif adalah dinyatakan sangat perlu, hal ini semata-mata adalah menunjukkan tanggung jawab dalam ikut bernegara, sehingga penyusunan alat-alat dan draft perundang-undangan untuk tujuan mencapai Masyarakat “Tata Tengtrem Kerta Raharja”.
Tujuan mulia tersebut akhirnya terjebak dalam masalah sistem semata. Sebab yang seharusnya dilakukan adalah diberikannnya Quota kursi Keterwakilan baik di legislatif, Parlemen, atau Dewan konstituante, baik itu kepada GOLKAR ataupun TNI/POLRI, yang mana jumlah QUOTA tersebut adalah dihitung berdasarkan secara MATEMATIS semata.
Sehingga pada masa tersebut seharusnya, dibiarkannya adanya persaingan politik antara fusi Partai-Partai Islam dalam Partai Persatuan Pembangunan ( PPP ), yang bersaing dengan fusi partai-partai Nasionalis dalam Partai Demokrasi Indonesia ( PDI ).
Sehingga Indonesia dalam berdemokrasi adalah bukan sekedar didikte, dan bukan pula sekedar wacana. Dan ini haruslah diakui bahwa walaupun Partai Kominis Indonesia ( PKI ) telah hancur dalam usaha yang gagal yaitu Coup de’ tat 30 September 1965 y.l. tetapi seperti diakui oleh Kepolisian waktu tersebut adalah bahwa Pengaruh-pengaruhnya akan tetap berjuang untuk mempengaruhi setiap kebijakan negara dari masa – ke masa, termasuk dalam mempengaruhi GBHN dan apabila mungkin adalah menguasai dan menjabat dalam posisi-posisi publik. Yang akhirnya notabene mereka menghancurkan Azas Negara yaitu Pancasila maupun UUD 1945, untuk menerapkan pola komunisme Marxisme, Lenninmisme yang digabung dengan sosialisme nya paham negeri Tirai bambu ( Cina ).
Negara-negara sosialis ( kawasan Eropa Timur ). Korea Utara, Cina daratan termasuk provinsi Taiwan, Hongkong menerapkan pola Pemilu ( kehidupan politik ), yang sekarang oleh bangsa Indonesia dari Pemilu 2004 y.l telah diikuti 100 %, yang ironis bangsa Indonesia ini menyatakan bahwa hal tersebut adalah demokrasi, padahal yang sesungguhnya pelaksanaan tersebut adalah Otokrasi semata.
Termasuk terkuaknya Golongan Karya, yang seharusnya merupakan suatu kekaryaan, menjadi ikut dalam kancah politik dengan dinyatakannya sebagai Partai Golongan Karya ( Pemilu 1999 – sekarang ).
Maka tidak ada lagi alasan bagi TNI / POLRI sesuai dengan amaanah dan embriosional dilahirkannya POLRI khususnya untuk ikut dalam kegiatan-kegiatan apapun atau membuat Agreement dengan salah satu partai politik manapun termasuk Partai Golongan Karya.
Sehingga kedudukannya baik POLRI ataupun TNI tetap berada di atas seluruh golongan.
Apakah kekaryaan , TNI ataupun POLRI untuk memperoleh QUOTA keterwakilannya dengan tidak perlu untuk ikut berkompetisi awal ( Pemilu ) dapat dibenarkan ?
Ya, hal tersebut adalah dapat dibenarkan, sebagaimana dengan kompetisi-kompetisi lainnya yang mana kita mengenal dengan istilah seedeed, ataupun Wild Card ( dalam Tenis ), dll. Sehingga harapan agar Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ) adalah tetap merdeka, utuh dan berdaulat penuh, serta lahirnya produk perundang-undangan yang adil menata masyarakat “Tata Tengtrem Kerta Raharja “ adalah bukan sekedar harapan saja.
Disetiap negara maju, menghormati azas hukum di negaranya masing-masing yang disusun pada saat negara tersebut berada pada abad 12-an adalah hal yang patut dicontoh. Pada abad 20-an ini mereka tidak berani untuk berlaku macam-macam terhadap dasar dan azas hukum negara-negara tersebut, misalnya :
USA dengan Declaration of Indepedence ( 1776 ). Pernyataan ingin bebas dari penjajahan Inggris yang dianggap terlalu menindas mereka.
Perancis dengan Declaration des droit de I’lhomme et du Citoyen ( 1789 ). Tuntutan kolektif dari Assemble Nationale yang mewakili rakyat untuk membatasi kekuasaan Raja Louis XVI, dan suatu upaya untuk melindungi hak-hak rakyat.
Yang mana kedua naskah tersebut sangat mempengaruhi rumusan Deklarasi Universal HAM yang diumumkan pada tahun 1948.
Bagi yang menganut agama Islam, tentang rumusan HAM adalah sangat eksplist dan terurai dengan jelas pada Piagam Madinah, dan pidato Nabi Muhammad rasululloh SAW pada saat Hajjatul Wada’ ( tahun ke – 11 H ).
Kerajaan Inggris dengan Magna Charta ( 1215 ), lahir dari tuntutan gereja dan para bangsawan untuk membatasi kesewenang-wenangan raja Inggris. Petition of Right ( 1628 ), lahir dari tuntutan parlemen yang mewakili rakyat ( house of commons ) untuk membatasi kekuasaan raja
Universal Declaration of Human Rights ( PBB, 1948 ). Sebagai pencerminan kemenangan negara-negara sekutu terhadap rezim fasisme Italia, Jerman dan Jepang, yang cenderung diktator dan menindas rakyat.
Indonesia ( Undang – Undang Dasar 1945 ). Sikap sebagai pernyataan terlepas / merdeka dari penjajahan negara asing.
Semua tentang dokumen HAM adalah lahir bukan dari paham liberalisme dan individualisme, tetapi lahir sebagai perlawanan terhadap kesewenang-wenangan penguasa.


Khatimah
DWI FUNGSI ABRI mengapa dibubarkan ?
Gagasan brilian tersebut adalah lahir bukan dari orang-orang politik, tetapi lahir dari pemikiran seorang ABDUL HARIS NASUTION, seorang target pembunuhan komunisme ( 30 September 1965 y.l ) yang berhasil lolos dari kepungan PKI walaupun harus ditebusnya dengan meninggalnya putri tercinta ADE IRMA SURYANI NASUTION.
Dwi ( dua ) fungsi ABRI adalah :
1. ABRI sebagai tulang punggung dalam pertahanan & keamanan negara.
2. ABRI berpartisipasi dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, misal ABRI Masuk Desa, ( pembuatan jalan desa yang tidak akan menyerap pengeluaran yang banyak, pembuatan irigasi, dll.

Kesimpulan :
Kepolisian Republik Indonesia adalah diidentikan dengan BHAYANGKARA / BHAYANGKARI, yang mana pada kenyataannya keberadaan Bhayangkara/I tersebut adalah diembrionalisasikan pada tanggal 1 Juli 1969 yang lalu.
Periode 17 Agustus – 1 Juli 1969, keberadaan kepolisian belum dinyatakan sebagai status kepolisian itu sendiri,karena kenyataannya kepolisian lebih menekankan kepada tugas peperangan dalam mempertahankan kemerdekaan RI, dan melucuti senjata tentara Dai Nippon.

Demikian ringkasan ini kami sampaikan semoga bermanfa’at.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar